Oleh : Irfan Riswandi, S.Kom., M.Pd.*

 

Sejak dahulu kala Pondok Pesantren dikenal sebagai tempat membina para insan untuk menjadi manusia yang paripurna, yakni kesempurnaan akhlak, aqidah dan ibadah, serta berbagai macam ilmu dan keterampilan, dengan kata lain seorang santri yang lahir dari pesantren dengan baik diharapkan dapat menguasai ilmu dunia dan akhirat . Dengan potensi yang besar seperti ini seharusnya bibit yang dimasukkan ke dalam pesantren bukanlah orang-orang yang setengah-setengah, bahkan haruslah anak yang dipersiapkan dari awal oleh orang tuanya, untuk menerima beban yang berat ini. Artinya anak-anak yang dimasukkan ke dalam pesantren bukan hanya karena anak tersebut sudah tidak dapat lagi didik oleh orang tuanya, lalu kemudian di masukkan ke dalam pesantren.
Hal ini memang sering terjadi karena terkadang ada orang yang memandang pesantren itu sebagai tempat untuk menitipkan anak-anak yang sukar di atur, alias anak-anak nakal, kalau begini padangan orang tua, itu berarti pesantren disamakan dengan bengkel, kalaulah yang diperbaiki itu adalah benda-benda seperti komputer atau mesin mungkin tidak terlalu sulit, tetapi yang namanya manusia apalagi sudah lebih dari satu tentu sangat sulit untuk diubah, oleh karena itu anak seperti ini disamping dapat menjadi masalah dalam pesantren juga dapat menjadi bibit penyakit yang dapat menyebabkan anak-anak lain kejangkitan penyakitnya. Oleh karena itu paradigma berpikir seperti ini harus dibalik, seharusnya anak-anak yang dimasukkan ke dalam pesantren adalah anak-anak yang diunggulkan dalam segala hal, paling tidak mereka adalah anak-anak yang tidak memiliki kelainan mental.

Pesantren adalah suatu tempat untuk belajar ilmu agama, dimana biasanya para santri menginap dalam kurun waktu tertentu di dalam pesantren tersebut, masih banyak dari para orang tua yang beranggapan bahwa pondok pesantren itu adalah bengkel untuk anak-anak nakal, bandel, dan susah diatur. Pada saat itu saya berfikir, apakah benar pesantren adalah bengkel untuk anak-anak nakal?.

Pada tulisan ini, saya ingin menunjukan bahwa opini negatif tentang pesantren itu tidaklah benar. Sebagai pengalaman waktu saya mondok di salah satu pesantrenk modern yang ada di ponorogo, memang pada awalnya merasa seperti terpenjara, karena tidak boleh keluar dari pondok sesuka hati, didalam pondok banyak sekali peraturan yang tertera dan harus dilaksanakan, demikian juga dengan jadwal kegiatan yang seabreg, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi semua sudah tertulis dan terjadwal dengan baik dan semua santri harus mengikuti aturan tersebut, karena jika tidak, maka akan dikenai hukuman mulai dari hukuman ringan sampai hukuman berat, bahkan mungkin saja dikeluarkan / dikembalikan kepada orangtua yang bersangkutan, sesuai tingkat kesalahan atau pelanggaran yang dilakukannya.
Namun, karena masuk pesantren adalah pilihan saya sendiri, saya belajar untuk mengikuti semua peraturan yang ada, saya belajar mencintai dan menikmati situasi didalam lingkungan pesantren. 

Diantara orang tua wali santri  ada yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren,  karena anaknya susah diatur dirumah dan pesantrenlah menjadi inisiatif orang tua wali tersebut, begitu pula karena anaknya tidak berprestasi dalam akademik disekolah lamanya, maka dimasukkanlah kedalam pesantren,  berbeda dengan saudara anak tersebut yang berprestasi di sekolah lamanya,  maka dimasukkanlah  anak tersebut di sekolah unggulan, diantaranya pula karena  disekolah lamanya sering bolos dan melanggar akhirnya untuk  memperbaiki  akhlak anak  tersebut, maka dimasukkanlah si anak di  pesantren, atau karena anak tersebut tidak mampu lulus di sekolah unggulan, maka pesantrenlah inisiatif terakhir si anak untuk berlabuh, begitu  pula  karena kedua orang tuanya adalah orang tua karir dan mereka tidak mampu mengurusi anaknya maka pesantrenlah inisiatifnya agar ada yang menjaga si anak.

Maka janganlah  kita  heran jika seandainya  kelak diantara   para santri kelak kemudian ada diantara mereka yang mendirikan  geng–geng di pondoknya,  atau diantara para santri  ada watak- watak manusia yang sering melanggar  aturan pondok  atau pun aturan  syariah, bahkan tidak jarang  diantara  mereka  tidak mampu memberi prestasi akademik yang baik di pondok   pesantren  tersebut.

Diantara semua fakta–fakta  di pondok pesantren tadi,  setidaknya tidak dapat dibungkiri lagi bahwa penyebab awalnya  adalah  dimasukkannya bibit-bibit tidak unggul dari sekolah lamanya yang  mereka di masukkan ke pesantren bukan atas dasar keunggulan akademik  akan tetapi, sebagai mana yang penulis sebut di awal tadi mereka masuk pondok  pesantren  atas latar belakang   beberapa  faktor.

Setidaknya mari kita belajar  kepada si petani.  Sebelum  si petani menanam bibit–bibit  padinya di sawah, maka  si petani memilih  dahulu  bibit–bibit unggul, yang  bijinya baik, besar,  atau sekiranya  memilih bibit–bibit yang sangat tepat  untuk kembali  di tanam. Setelah  bibit tersebut  dipilih dengan baik  barulah kemudian dilakukan pembibitan kemudian  ditanamlah di sawah tak lama kemudian dipupuklah dan dipeliharalah dengan baik dan tak lama kemudian dipanenlah padi tersebut, maka tidak menutup  kemungkinan menghasilkan   hasil panen  yang memuaskan karena di mulai dengan  bibit yang unggul dan terpilih. Begitupula  berbeda  dengan  petani yang memula  persemaian padi yangdi mulai dengan  bibit  tidak  unggul, maka mustahil  akan melahirkan hasil  panen yang  memuaskan. Setidakknya  para  ummat ini, harus   kembali   memperbaiki niatnya dengan  membawah benih  benih dan bibit unggul   sebelum memasaukkan  anaknnya kepondok  pesanntren.  Sehingga lahir pula  generasi ummat islam  yang unggul pula dan  tampil sebagai  pewaris  dakwah  Nabi Muhammad SAW.  

Membicarakan tentang pondok pesantren, semestinya kita mempunyai sudut pandang yang lebih positif. Pondok Pesantren harus dipandang sebagai alternatif pendidikan yang setara dengan pendidikan umum, dengan menekankan pada aspek pendidikan agama, dan terutama untuk membentuk akhlak yang lebih terjaga. Dan pesantren bukanlah bengkel ketok magic, Pesantren juga bukan tempat buangan, seandainya tidak diterima di sekolah negeri. Harus ada tujuan tertentu yang spesifik dari orang tua, sebelum memasukkan anaknya ke pesantren.

Pondok pesantren di pandang sebagai salah satu tempat yang tepat untuk mendidik akhlak para remaja. Bukan hanya memperbaiki akan tetapi juga untuk memperdalam ilmu agama khususnya agama islam.

Pondok pesantren dianggap mampu untuk membekali para alumninya dalam menghadapi tantangan zaman yang penuh dengan kemaksiatan, sehingga pandangan orang tua modern zaman sekarang agak bergeser dengan pandangan orang-orang tua zaman dahulu. Jika dulu pesantren dianggap sebagai tempat menimbah dan memperdalam ilmu agama, sekarang pesantren dianggap sebagai bengkel dan penjara bagi anak-anaknya.

Banyak orang tua memberikan alasan bahwa dengan di masukkannya anaknya kepondok pesantren, diharapkan anaknya dapat terhindar dari pergaulan yang serba bebas sekarang ini, ilmu Sepertinya menjadi urusan kedua bagi mereka orang tua modern yang memasukkan anaknya kepesantren, Dengan kesadaran seperti ini, membuat banyak pesantren-pesantren berdiri untuk memberikan pembinaan terhadap para anak-anak yang dianggap oleh orang tuanya untuk dibina, Ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa bagi perkembangan syiar agama islam, kesadaran akan pentingnya berakhlak baik sudah hidup kembali ditengah-tengah masyarakat kita, salah satu faktor yang menumbuhkan kesadaran tersebut adalah dikarenakan semakin massifnya kebobrokkan aqidah dan akhlak manusia baik dikalangan pelajar.

Pesantren, dengan semangat Tarbiyah Wat Ta’lim-nya mengusung sebuah metode pendidikan berbasis islami dengan tujuan dapat membangun sikap dan mental manusia sesuai dengan fitrahnya. Menjadi pribadi yang siap dalam segala aspek kehidupan, jasmani maupun rohani. Meskipun demikian, semua proses pendidkan tidak mungkin hanya bertumpu pada satu pihak saja. Karena keberhasilan sebuah lembaga pendidikan (pesantren) tidaklah mutlak diperankan oleh lembaga tersebut, melainkan melaui proses kerjasama yang baik antara orang tua dan lembaga pendidikan itu sendiri (pesantren).

Melihat fenomena seperti ini memunculkan pertanyaan, benarkah pesantren dapat memberikan benteng bagi para remaja dalam menghadapi kebobrokan zaman sekarang ini?. Benarkah pesantren mampu menjadi bengkel bagi orang-orang yang bobrok akhlaknya?. Benarkah guru-guru dipesantren mampu menjadi mekanik yang membenahi kerusakan yang ada pada pasiennya atau malah merusaknya lebih parah?.  Ini menjadi pertanyaan besar?.  Wallahu  a’lam bi`ssawab.

 

*Staf Pengajar Pesantren Condong