Hasil gambar untuk santri pesantren condong

 

Polemik Moral dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan telah hangat dan banyak dibicarakan oleh pakar-pakar pendidikan yaitu mengenai pendidikan karakter. Dengan fakta yang menunjukkan bahwa karakter bangsa di era globalisasi ini merosot dengan sangat tajam, hal inilah yang melatarbelakangi munculnya pendidikan berkarakter yang dianggap sebagai suatu media yang paling jitu dalam mengembangkan potensi anak didik baik berupa keterampilan maupun wawasan.

Sebagaimana tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Nomor 20 Pasal 3 tentang sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kref, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir dijelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan: Pendidikan akhlak (karakter) masih digabung dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya pada guru agama karena pendidikan karakter sendiri, yang pelaksanaannya sepenuhnya dibebankan pada guru agama saja. Terang saja hingga kini pelaksanaan dari pendidikan karakter itu sendiri belum mencapai batas yang optimal. Hal ini terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter.

Perilaku buruknya karakter atau tidak berkarakter dapat dilihat secara seksama dengan semakin maraknya terjadi tawuran antar pelajar, adanya pergaulan bebas, dan adanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik di masyarakat, kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, kekerasan dan kerusuhan, dan korupsi yang mewabah dan merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat, tindakan anarkis dan konflik sosial.

Pada kondisi seperti ini seolah-olah pendidikanlah yang harus bertanggungjawab. Atas dasar tersebut, munculnya pendidikan karakter yang berasal dari Barat seakan-akan menjadi solusi utama yang secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaannya menghasilkan generasi yang diharapkan. Ternyata tidak cukup hanya dengan karakter yang baik saja untuk menciptakan generasi bangsa ini menjadi generasi yang bermartabat dan beradab, tetapi kita membutuhkan pendidikan spiritual yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang maha esa dalam konsep pendidikan akhlak.

Konsep Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sosial untuk membantu pembentukan karakter secara optimal).

Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang dilakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun dalam desain induk Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI juga telah menjelaskan konfigurasi karakter dalam konteks proses psikososial dan sosial-kultural dalam empat kelompok besar, yaitu: (1) Olah Hati (spiritual and emotional development); (2) Olah Fikir (intellectual development); (3) Olah Raga dan Kinestetik (physical and kinesthetic development); dan (4) Olah Rasa dan Karsa (affective and creativity development).

Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Thomas Lickona menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan/ tindakan moral) yang diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lickona di bawah ini:

Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All three are necessary for leading a moral life, all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want for our children, it`s clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within.

Terjemah bebasnya “Karaktersehinggadipahamimemiliki tiga bagianyang saling terkait yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral. Karakter yang baikterdiridarimengetahuiyang baik, menginginkanyang baik, dan melakukanyang baik, kebiasaanpikiran, kebiasaanjantung, dan kebiasaantindakan. Ketigadiperlukan untukmenjalani kehidupanmoral,ketigamembuatkematanganmoral.Ketikakita berpikirtentang jeniskarakteryang kita inginkanuntukanak-anak kita, jelas bahwa kamiingin merekauntuk dapatmenilai apayang benar, sangat peduli tentangapa yang benar, dan kemudianmelakukan apa yang merekayakinibenar, bahkandi wajahtekanandari luardangodaandari dalam”.

Oleh karena itu pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu yang ada dalam lembaga pendidikan. Penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai individu merupakan tujuan dari pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku antar sesama manusia (Hablu minannas).

 

Pendidikan karakter saja belum cukup

Jika kita mendalam pendidikan karakter persfektif barat, dapat difahami bahwasannya apa yang disebut baik dan perilaku baik itu relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal.  Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri.

Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya.  Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi sangat diherankan mengapa di Indonesia yang problemnya berbeda harus menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter tersebut yang belum tentu menjadi solusi atas polemik yang ada. Singkatnya, jika pendidikan karakter di Negara Barat menjadi solusi atas penyimpangan peserta didik, maka di Indonesia belum tentu menjadi solusi yang jitu dengan berbagai kultur dan tradisi yang berbeda. Bahkan di Amerikapun belum menjadi solusi.

Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan di Amerika melaporkan bahwa mayoritas pendidikan karakter telah gagal meningkatkan efektifitasnya. Selanjutnya pada Tahun 2010 sebuah penelitian menemukan bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak dapat memperbaiki perilaku pelajar atau meningkatkan prestasi akademik. Hal ini menjadi fakta bahwasannya pendidikan karakter saja belum cukup untuk mewujudkan peserta didik yang berbudi.

Jika ditelusuri lebih mendalam, maka pendidikan karakter barat sekuler memiliki beberapa masalah. Pertama,tidak ada kesepakatan dari konseptor pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama. Karakter kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, persamaan, sikap hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail akan berbeda-berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain. Kedua, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi.

Ketiga, konsep karakter masih ambigu karena – merujuk pada wacana para psikolog – masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour). Sedangkan problem keempat, arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq berkaitan dengan iman, ilmu dan amal.

Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifzal-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa pendidikan karakter belum sepenuhnya dapat dijadikan rujukan untuk mengatasi masalah pendidikan yang ada di negara ini. Karena hanya menitikberatkan kepada nilai-nilai dan norma-norma kemanusiaan saja. Hanya mencetak manusia yang mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) kepada sesama makhluk, tapi minim akan ketauhidanilahiyah. Lebih jauh lagi secara tidak langsung akan menjauhkan kita dari sang Kholiq (Allah). Dalam pendidikan karakter juga menganggap bahwa agama bukan suatu yang mendasar untuk menciptakan manusia yang baik apalagi di negara yang plural. Maka hanya dengan pendidikan karakter saja belum cukup untuk membangun generasi yang berkarakter, justru akan membahayakan bagi aqidah umat Islam.

Di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, sejatinya tidak hanya mendambakan generasi atau pemimpin yang berkarakter saja, melainkan pemimpin yang berkarakter sekaligus berakhlak. Seseorang tidak cukup dengan berdisiplin tinggi, rela menolong, menghargai waktu dan lain-lain yang berdimensi pada hablu minannas saja tetapi ia korupsi, tidak taat beragama, dan yang lainnya yang tidak mencerminkan dimensi hablu minallah. Oleh karena itu perlu keseimbangan antara karakter dan akhlak

Simpulnya, konsep pendidikan  tepat untuk diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi dekadensi moral adalah pendidikan akhlak. Hal ini dapat diteliti karena ia akan mampu menyempurnakan dimensi social dan agama. Berakhlak sejatinya adalah berpikir, berkehendak, dan berperilaku sesuai dengan fitrahnya (nurani) untuk terus mengabdi kepada Allah. Jadi bukan hanya menjadi manusia baik yang berkarakter tapi juga berakhlak mulia. Generasi yang berakhlak pada hakikatnya ia berkarakter, sedangkan generasi yang berkarakter belum tentu berakhlak. Wallahu a’lam bi al-showab. [AKA]